Dalam beberapa hari ini, saya menikmati ikut berpatisipasi dalam penyelenggaran Kapal Api Indonesia Open 2025 sebagai seorang jurnalis yang mewakili jurnalbulutangkis.com. Dengan demikian, saya, sebagai peneliti yang sedang mengambil studi doktoral di Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, lengkap mengalami mengalami perpindahan bangku di istora, sebagai seorang fan atau badminton lover yang dimulai sejak tahun 2018 di event Asian Games, sebagai peneliti, sejak saya memutuskan mangambil topik Athlete’s Body Enactment tahun 2021. Dalam perjalanan penulisan disertasi, saya ditawari merasakan duduk di istora sebagai jurnalis foto yang duduk tepat di samping lapangan. Tentu tulisan ini lahir, karena saya ingin berterima kasih kepada jurnalbulutangkis.com, dan sebagai balasannya, saya membagikan refleksi saya dalam beberapa hari ini.
Di tengah pekerjaan memfoto, mengamati di sini ada proses melihat dan mendengar, merekam dan mewawancara atlet usai bertanding, saya membuka media social. Rupanya sedang terjadi perang netizen Malaysia dan Indonesia soal memberi dukungan dan psywar pada lawan dengan bunyi yang disebut booing. Dalam tulisan ini, saya tidak akan memperdebatkan normativitas tindakan tersebut, karena akan menjadi perdebatan yang tidak pernah selesai dari berbagai pihak yang memiliki cara pandang sendiri-sendiri terhadap booing. Saya justru lebih tertarik untuk membahas materialitas suara istora yang selama ini dikenal sebagai the magic place dalam dunia pertandingan bulu tangkis.
Magic place terjadi karena adanya ruang ekspresi yang disediakan sebagai katarsis pecinta olahraga ini, entah mencintai bulu tangkisnya, atletnya, atau keduanya sekaligus. Bunyi yang paling dominan terdengar adalah keplokan balon, yel-yel, dan nyanyian. Semua berfungsi sama untuk menyemangati atlet yang dibela, dan menekan psikologis lawannya. Di negara yang memiliki fans bulu tangkis yang melimpah, dukungan penonton bagian dari senjata yang bisa menyukseskan seorang atlet, tetapi sekaligus juga bisa menggagalkannya (senjata makan tuan). Dalam dunia dukung mendukung kompetisi olahraga, hal ini tidak bisa dihindari. Audiens terlalu banyak jumlahnya untuk bisa diatur oleh aturan yang terlalu rigid.
Yel-yel dan nyanyian berasal dari material kata yang jika diucapkan menjadi bunyi. Syllabel atau suku kata adalah bunyi fonetik yang dihasilkan dari ejaan bibir yang mengucap. Beberapa kata tidak ada makna pada yel-yel, jika hanya saya tuliskan di sini dalam bentuk teks tanpa konteks. Seperti Huuu Haaa, atau eaea atau booo. Di istora bunyi ini mendengung memenuhi ruangan istora diucapkan oleh ribuan bibir secara serentak yang hasilnya adalah memotivasi dan atau sebaliknya menekan. Permainan bunyi ini nampak sederhana, tapi efeknya berhubungan dengan mental manusia yang sedang menjalani pertandingan di tengah lampu sorot, dan penyaksian ribuan mata serta lensa teknologi kamera video maupun foto yang mengkalibrasi jumlah mata. Teknologi lensa itu yang menyebabkan perdebatan sengit para netizen antar negara soal booing di kancah media sosial. Rexy Mainaky pernah mengatakan yang dicatatkan oleh Tegar (2015), Rexy mengakui bahwa sorak-sorai penonton tersebut membantunya bermain dalam irama pukulan dan meningkatkan gairah dalam setiap pukulan. Para ahli psikologi juga berpendapat bahwa sorak-sorai meningkatkan sinkronisasi kondisi internal pemain dan penonton, sehingga tercipta rasa persatuan (Koide dan Shimada 2018).
Lalu bagaimana dengan chanting atau lagu. Para penonton bulu tangkis Indonesia yang menyaksikan di tv, online streaming maupun langsung di Istora sangat hapal dengan Garuda di Dadaku. Lagu ini juga dibawakan di bangku GBK dalam pertandingan sepak bola timnas melawan dari tim negara lain. Coba saya ingatkan kembali syair lagu itu:
Garuda di Dadaku
Garuda kebanggaanku
Kuyakin hari ini, pasti menang.
Lagu singkat yang hanya tiga baris ini terasa lebih idelogis dibanding yel-yel. Garuda di Republik Indonesia symbol negara ketika ditemukan dengan prinsip-prinsip dasar berkebangsaan yaitu Pancasila yang disematkan dan ditetapkan secara resmi sejak negara bangsa ini lahir. Membawa lagu ini ke ranah kompetisi olahraga yang memang mewakili negara berimplikasi ideologis, bahwa negaraku kudukung dan kubela. Walaupun dalam pertandingan bulu tangkis para pecinta juga memberi dukungan pada atlet lain yang bertanding yang bukan mewakili Indonesia. Bahkan “kenakalan” pendukung pun tidak jarang juga mencuat yaitu misalnya mendukung atlet di luar perwakilan negara walaupun sedang bertanding dengan atlet Indonesia. Di masa Lee Young Dae yang memiliki banyak fans terutama para wanita, banyak dari mereka terbius menyemangati dan memuja Lee Young Dae, padahal sedang melawan wakil dari Indonesia. Ini hanya terjadi pada bintang-bintang tertentu, dan tidak selalu ada dalam setiap generasi.
Keplok balon adalah salah satu bunyi yang cukup dominan dalam Istora. Keplok itu seringnya mengiringi lagu yang sangat singkat dan nada yang monoton tetapi sangat ideologis. Indonesia adalah satu kata yang menunjukkan tumpah darahku. Didengungkan, diulang, diinternalisasi oleh atlet, pecinta bulu tangkis Indonesia, pengelola klub, pengurus pelatnas, pemerintahan. Hanya satu kata yang diulang. In-do-ne-sia, lalu balon dikeplokkan sebagai pengganti dari tepuk telapak tangan. Bunyi keplok balon pasti lebih kencang dari dua telapak tangan yang diadu. Bunyi balon dan lagu In-do-ne-sia ini yang paling gemuruh terdengar hingga ke luar istora yang menandai pertandingan seru bulu tangkis Indonesia. Bunyi yang sangat khas dari generasi ke generasi ketika pertandingan bulu tangkis diadakan di Indonesia, selain yel-yel habisin habisin., tetapi yel-yel ini tidak diiringi keplok balon. Getaran yang dihasilkan dari gemuruh istora ini tahun 2018 sekitar 115.6 desibel (Selvaraj 2018).
Balon stik yang menyatu dengan bunyi syllable lagu Indonesia, menurut Broward (2023), terbuat dari tiga jenis bahan utama. Balon lateks berasal dari karet cair, dari getah pohon karet yang menjadi salah satu industri perkebunan di Asia Tenggara. Bahan dasar karet cair ini yang pertama kali digunakan untuk membuat balon lateks pada masa Michael Faraday dalam teknologi balon karet pada tahun 1824. Akan tetapi, satu yang harus diingat, balon lateks tradisional, meskipun menawarkan warna-warna cerah dan kemungkinan kreatif yang tak terbatas, termasuk menyemarakkan perhelatan di Istora, berkontribusi terhadap sampah plastik saat dilepaskan ke lingkungan. Ini yang harus dipertimbangkan untuk mengganti material bunyi penyemarak Istora!
Penulis: Dina Amalia Susamto
Ide tulisan ini bagian dari ide artikel jurnal ilmiah yang sedang dalam masa tunggu di sebuah penerbit dengan topik Noise of Istora. Doakan lancar prosesnya ya Badminton Lovers!
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.