Regenerasi dan Krisis Kesempatan

DSC_0416Dunia olahraga Indonesia masih terus bertumpu pada bulu tangkis. Baik pada kejuaraan Internasional berlevel rendah sampai ke kejuaraan dengan tahta paling tinggi, Olimpiade. Namun, sampai kapan bulu tangkis akan bertahan menjadi pijakan prestasi olahraga Indonesia?

Regenerasi kini menjadi masalah utama dalam dunia olahraga, khususnya bulu tangkis yang notabenenya adalah olahraga nomor dua di Indonesia. Bahkan mungkin apabila dihitung dalam prestasi Internasional, bulu tangkis adalah olahraga nomor satu di Indonesia. Tentunya regenerasi adalah masalah yang serius.

Untuk mendulang prestasi, Indonesia sendiri masih bertumpu pada sekiranya tiga sektor dari lima sektor yang dimainkan. Ganda putra, ganda campuran, dan saat ini mulai mengandalkan ganda putri. Kekuatan di tunggal putra dan tunggal putri belum bisa diharapkan dan memiliki taji di kompetisi Internasional.

Lepasnya kostum tim nasional dari tubuh Taufik Hidayat, maka bisa dibilang juga lepasnya kejayaan tunggal putra Indonesia. Sejak itu, tidak ada lagi nama-nama pemain tunggal putra yang bisa bersinar terang di kancah Internasional.

Berhentinya Susi Susanti mengayunkan raket pada 1998 seolah menjadi berhentinya juga kejayaan tunggal putri Indonesia. Sampai saat ini, belum ada nama seorang putri bangsa pun yang bisa menyamai kejayaannya.

Hanya ada nama Maria Kristin Yulianti yang sedikit bisa menyandingkan namanya dengan Susi Susanti. Maria Kristin berhasil meraih medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. Selepas itu, Indonesia belum menemukan permata barunya untuk sektor tunggal putri.

Tiga sektor utama yang selalu menjadi tumpuan pun semakin lama semakin luntur. Bagaimana tidak, tiga pasang pemain utama dengan peringkat tertinggi Indonesia pun masih belum bisa mengalungkan kembali medali emas di lehernya.

Hanya ada nama Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang akhirnya bisa meraih puncak prestasi dengan merebut medali emas Olimpiade Rio 2016. Paska Olimpiade, Tontowi/Liliyana pun masih belum bisa kembali diandalkan.

Para Ganda pelapis Tontowi/Liliyana juga belum bisa mem-backup lunturnya dominasi pasangan nomor empat dunia tersebut. Terakhir, dalam kejuaraan Denmark Open Super Series Premier 2016, Tontowi/Liliyana hanya mampu melangkah sampai babak 16 besar. Langkah paling jauh tim ganda campuran Indonesia hanya dicapai oleh Praveen Jordan/Debby Susanto yang melangkah sampai babak perempat final.

Sepanjang 2016 ini prestasi tim ganda campuran Indonesia memang tidak terlalu bersinar. Yang paling menonjol mungkin hanya emas Olimpiade Rio yang diberikan Tontowi/Liliyana dan juga Gelar All England 2016 oleh Praveen Jordan/Debby susanto.

Indonesia hanya memiliki satu senjata di sektor ganda putri, yaitu Nitya Krishinda Maheswari/Greysia Polii. Saat ini mereka duduk di peringkat enam dunia. Namun, prestasi mereka pun belum terlalu bersinar paska meraih emas Asian Games di Korea pada 2014 lalu. Pada 2016 ini Greysia/Nitya baru mempersembahkan satu buah gelar, yaitu pada kejuaraan Singapore Open Super Series 2016.

Pasangan Della Destiara Haris/Rosyita Eka Putri, Anggia Shitta Awanda/Mahadewi Istirani, dan Tiara Rosalia Nuraidah/Rizki Amelia Pradipta pun belum bisa menunjukan perkembangan yang berarti. Padahal, tiga pasangan ini adalah nama-nama yang kelak akan menjadi pengganti Greysia/Nitya.

Sektor ganda putra bisa dikatakan salah satu tim paling kuat dan solid. Dari turnamen ke turnamen, tiap pasangan sudah bisa saling mengisi kekosongan satu sama lain. Tidak selalu nama Hendra Setiawan/Muhammad Ahsan lagi di puncak tertinggi. Namun para pemain pelapisnya sudah bisa mulai unjuk gigi.

Sembilan gelar juara telah dipersembahkan tim ganda putra Indonesia sepanjang 2016. Nama Kevin Sanjaya/Gideon Markus Fernaldi menjadi nama paling kaya prestasi di 2016 ini. Mereka – Kevin/Gideon – memberikan tiga gelar juara yang diperoleh dari India, Australia, dan Malaysia. Setelah itu, ada pasangan Berry Anggriawan/Rian Agung Saputro, Fajar Alfian/Rian Ardianto, Hendra Setiawan/Muhammad Ahsan, dan lain-lain yang ikut menyumbangkan gelar juara.

Sektor ganda putra memang dinilai sebagai sektor paling siap untuk bertahan dalam prestasi. Regenerasi pemain paling terlihat. Kompetisi untuk menjadi yang terbaik juga semakin nampak setelah beberapa kali sesama pemain Indoensia harus bertarung di partai puncak demi meraih gelar juara.

Namun, bagaimana dengan regenerasi sektor lain? Sudah ada nama Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, dan Ihsan Maulana Mustofa di sektor tunggal putra. Ada nama Fitriani, Gregoria Mariska, dan Hana Ramadini di sektor tunggal putri. Namun, mereka belum mendapat kesempatan besar di dalam turnamen besar dunia.

Kesempatan pemain muda untuk turun di kejuaraan Internasional masih terbilang minim. Terlebih di sektor tunggal putri. Bahkan dalam kejuaraan French Open Super Series 2016, tidak ada nam-nama dari tim tunggal putri yang diturunkan.

Dari tim tunggal putra, tiga tombak utama Pelatnas akan bersaing. Jonatan, Ihsan, dan Ginting akan “mengasah” kemampuannya di ajang Perancis Terbuka. Sebagai tiga tunggal putra utama di Pelatnas, Jonatan, Ihsan, dan Ginting hanya bisa meningkatkan level permainan dalam sebuah kejuaraan. Tidak adanya sosok pemain senior di Pelatnas PBSI membuat ketiga penerus Taufik Hidayat itu harus berusaha lebih keras agar bisa menjadi pemain Top.

Realisasi permainan rangkap pun tersendat. Padahal, banyak negara maju sperti Korea dan China pun sudah berani melakukan permainan rangkap pada para pemainnya. Hal inilah yang menjadikan pemain mereka menjadi kaya pengalaman dan cepat meningkatnya level permainan.

Pengalihan sektor pun belum berani diambil langkahnya oleh kubu Indonesia. Dengan menukar pemain tunggal ke ganda, ganda putra ke ganda campuran, dan juga sebaliknya, belum memiliki ruang yang besar.

Yang dibutuhkan Indonesia saat ini hanyalah regenerasi dan sistim kepelatihan yang semakin baik. Negara besar China yang sudah banyak kehilangan pemain utamanya pun tetap tidak merasa khawatir. Regenerasi mereka berjalan sempurna. Tanpa adanya pemain utama, China tetap bisa melahirkan peraih gelar juara dalam setiap kejuaraan.

Korea, Malaysia, bahkan Jepang pun mengalami hal yang sama. Regenerasi mereka mulai terlihat dengan munculnya beberapa pemain andalah di beberapa sektor. Dan pemain-pemain ini bukan hanya “muncul” sebagai nama baru, tetapi mereka juga konsisten dalam menjaga permainan serta meraih prestasi.

Indonesia tidak bisa dikatakan krisis pemain. Sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia begitu melimpah. Namun, Indonesia hanya krisis kesempatan pada para pemainnya untuk bisa berkembang dan menemukan potensi utamanya. (RF)

Leave a Reply